Setiap bulan Rabi’ul Awwal, Banua Halat, sebuah desa kecil di daerah Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, selalu dipadati oleh ribuan orang yang datang dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan lima tahun belakangan ini, beberapa turis dari negara tetangga pun datang untuk menyaksikan sebuah tradisi yang telah turun temurun dilaksanakan oleh masyarakat setempat. Ada yang tau acara apa?
Ya, tidak lain dan tidak bukan adalah acara “baayun maulid”.
Baayun maulid berasal dari kata “ayun” yang diartikan “melakukan proses ayunan”. Sementara kata maulid berasal dari kata maulid (kelahiran) Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, baayun maulid diartikan sebagai kegiatan mengayun bayi atau anak sambil membaca syair maulid atau bersamaan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. Kegiatan ini biasa dilakukan pada tanggal 12 Rabiul Awwal atau bertepatan dengan tanggal lahir Rasulullah SAW[1].
Baayun maulid adalah sebuah tradisi yang telah dilakukan oleh masyarakat Banua Halat secara turun temurun.Tradisi ini hanya dilakukan setahun sekali, namun mendapatkan antusiasme luar biasa dari masyarakat Kalimantan Selatan itu sendiri. Kegiatan ini menjadi istimewa karena pesertanya tidak hanya ratusan, melainkan ribuan. Pada tahun 2008, jumlah peserta baayun ini mencetak rekor MURI dengan jumlah mencapai 1.544 orang.[2]
Tradisi ini merupakan sebuah budaya yang diturunkan oleh masyarakat yang menganut kepercayaan Kaharingan sebagai upacara pemberkatan yang dilakukan oleh bidan kepada bayi dan ibunya. Menurut tradisi asalnya, upacara baayun anak dilaksanakan dengan maksud agar keturunan mereka tidak mendapat gangguan dari roh-roh makhluk-makhluk halus, seperti hantu, jin, setan, siluman dan roh orang yang sudah meninggal atau hantu jadi-jadian. Mereka beranggapan bahwa jika anak mereka tidak diayun, akan mendapat gangguan dari makhluk-makhluk halus. Pelaksanaan yang masih murni dari tradisi baayun anak ini masih dilakukan oleh masyarakat Dayak Meratus.[3]
Untuk saat ini, dengan pengaruh masuknya Islam ke daerah Banua Halat, maka tujuan mengayun anak tersebut berubah. Sebagaimana pelaksanaannya yang disesuaikan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad, maka tujuan mengayun anak adalah agar mendapat syafa’at Rasulullah SAW. Tentunya, agar anak yang diayun dapat mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW dengan baik dan menjadi umat yang taat. Meskipun baayun ini tidak lagi menjadi sebuah kewajiban dalam keluarga ketika seorang anak lahir, masyarakat sekitar masih beranggapan bahwa tidak ‘afdhol’ jika anak mereka tidak pernah diayun di masjid saat perayaan maulid. Tradisi ini menjadi semacam agenda wajid setelah anak lahir, seperti acara tasmiah dan aqiqah yang biasa dilakukan oleh umat muslim saat anak mereka lahir.
Konsep dari baayun maulid ini sebenarnya sederhana, yaitu mengayunkan anak dalam ayunan saat syair-syair puji-pujian kepada Rasulullah SAW disenandungkan. Biasanya, orang-orang penting seperti bupati, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh adat, dan beberapa masyarakat akan memenuhi bagian dalam masjid. Di dalam masjid inilah kegiatan seperti ceramah dan sambutan di sampaikan serta syair-syair disenandungkan. Sedangkan ayunan-ayunan akan diletakkan di bagian halaman masjid yang cukup luas. Pelaksanaan baayun di sekitar masjid juga dimaksudkan agar hati anak yang diayun terpaut dengan masjid. Saat besar nanti, mereka diharapkan akan selalu melaksanakan sholat dan juga berjamaah di masjid.
Sekitar 10 tahun yang lalu, bagian halaman masjid masih cukup untuk menampung peserta yang memang hanya anak-anak dan bayi beserta orang tua yang mengantar. Namun, zaman telah berubah. Banyak sekali remaja, orang dewasa, bahkan kakek dan nenek yang mengikuti acara ini. Banyak yang melakukannya karena nazar atau janji dan banyak pula yang mengikutinya hanya untuk memeriahkan acara atau sekedar merasakan sensasi baayun bersama ribuan orang lainnya. Hal ini menyebabkan ayunan tidak lagi hanya berada di lapangan masjid, melainkan keluar masjid sampai ke jalan raya dan bahkan rumah masyarakat sekitar masjid.
Untuk ayunannya sendiri, selain memang terdiri dari beberapa lapis kain, ayunan juga dilengkapi dengan anyaman-anyaman buah ketupat dan janur. Terdapat beberapa kain yang juga dianyam sebagai hiasan untuk ayunan. Ayunan dipenuhi oleh hias-hiasan yang memperindah tampilan ayunan itu sendiri. Dan sampai saat ini, hiasan tersebut masih dibuat oleh masyarakat sekitar Masjid Keramat Banua Halat tersebut. Nah, bentuk dari ayunan dengan hiasan-hiasan ini, hampir masih sama dengan konsep ayunan yang digunakan oleh penganut kepercayaan Kaharingan.
Suatu ketika, saya pernah bertanya kepada seorang tokoh sejarah di Kabupaten Tapin mengenai tradisi baayun ini, Bapak Drs. H. Ahmad Gazali Usman. Saya menanyakan mengenai campur tangan agama Islam dalam tradisi baayun, mengingat kegiatan yang dilaksanakan bersamaan dengan hari lahir Nabi Muhammad. Apakah karena hal tersebut?
“Tidak, acara ini murni budaya. Agama Islam hanya masuk dan berusaha untuk tidak menghapus budaya yang telah ada. Agar kepercayaan terhadap roh-roh halus yang dapat mengganggu anak berubah, maka para pembawa Islam berusaha untuk menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Mungkin kelahiran Nabi Muhammad adalah waktu yang tepat, mengingat tradisi baayun ini juga dilaksanakan pada bayi yang baru lahir.”
Memang kenyataannya, jika mengikuti tradisi awal, maka akan banyak menyimpang dengan ajaran Islam yang sudah banyak dianut oleh masyarakat sekitar. Konsep bahwa ada roh-roh halus yang dapat mengganggu anak, sehingga anak harus diayun tidak lagi dapat diterima oleh masyarakat. Apalagi dengan sesajen yang dianggap dapat menenangkan roh-roh halus tersebut.
Saya juga berpikir akulturasi yang terjadi cukup sempurna. Dalam artian, niat dalam melakukan tradisi ini berubah kepada niat yang lebih baik, namun pelaksaannya dan juga fisik dari ayunannya masih mengikuti tradisi yang pernah ada. Sejujurnya saya salut dengan pembawa ajaran Islam ke daerah Banua Halat yang tidak berusaha untuk menghilangkan tradisi ini, namun membawanya kepada konsep pelaksanaan yang lebih baik.
Siapa sangka peserta tahun 2015 kemarin mencapai 4000 orang bahkan lebih? Berdasarkan penuturan beberapa masyarakat sekitar dan juga panitianya, pesertanya pun tidak hanya masyarakat Banua Halat, namun lebih banyak dari luar kota dan luar pulau Kalimantan ini sendiri. Beberapa masayarakat dari negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darussalam bahkan datang untuk sekedar menyaksikan dan mengikuti acara baayun ini.
Sampai saat ini saya tidak tahu persis apakah pesertanya masih lebih banyak dari penganut agama Islam atau pun ada juga dari penganut agama lain. Namun, lebih dari itu hal ini menunjukkan bahwa budaya yang tadinya kecil, dan hanya dilakukan dalam sebuah keluarga, dapat menjadi besar dan diikuti oleh lebih banyak orang. Dan juga sebuah budaya yang berasal dari kepercayaan lain, tidak lantas hilang karena kepercayaan masyarakatnya berubah.
Lewat tradisi baayun maulid ini, saya kembali berpikir bahwa Indonesia sebenarnya memiliki banyak budaya luar biasa yang belum terekspos kepada dunia luar. Bahwa Indonesia memiliki nilai-nilai budaya yang seharusnya tidak lekang karena perubahan waktu. Hal ini tercermin dari bagaimana masyarakat sekitar Banua Halat berusaha untuk melestarikan budaya mengayun anak mereka yang diyakini dapat membawa kebaikan kepada anak di masa depan.
Selain dari nilai-nilai yang memang dipegang oleh masyarakatnya, bukankah menjadi hal baik pula bahwa budaya Indonesia dapat menjadi daya tarik wisatawan asing untuk berkunjung?
Sebagai informasi, tradisi baayun ini juga sebenarnya dilaksanakan oleh masayarakat Sampit (Kalimantan Tengah), di Tembilahan (Riau), Langkat (Sumatera Utara) bahkan di Pahang dan Selangor (Malaysia). Tradisi baayun anak yang berasal dari Banajr mengalami difusi ke luar Banjar, tetap hidup dan berkembang di wilayah komunitas suku Banjar yang sudah hidup turun-temurun di kawasan luar Banjar tersebut.[4]
Biarpun demikian, Banua Halat (tempat kelahiran saya) masih memegang rekor peserta terbanyak, yaitu 1500 anak-anak dan 3000 orang dewasa pada tahun 2015 kemarin.[5] Ini mengakibatkan jalanan di Banua Halat yang biasanya sepi menjadi ramai seketika. Hal ini membuat saya yang anak asli Banua halat menjadi bangga dengan masayarakatnya.
Walau pun sangat amat ramai, tangan takut kekurangan makanan karena biasanya penjual makanan di pinggir jalan cukup banyak. Selain itu, hampir setiap rumah di sekitar masjid akan membuka rumahnya untuk pengunjung dari mana pun mereka berasal. Tanpa dipungut biaya tentunya. Hanya untuk menyemarakkan acara yang semakin meriah.
Bagaimana? Tertarik untuk diayun?
Saya pribadi dan 4 orang adik, yang tidak semuanya lahir di Banua Halat pun sudah diayun. Anda kapan?
Banjarmasin, 29 Februari 2016
[1] Wajidi, Akulturasi Budaya Banjar di Banua Halat, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2011), hlm. 105-106
[2] Rusla, Peserta Baayun Maulid Pecahkan Rekor Baru (antaranews.com, 24 Februari 2010).
[3] Wajidi, op.cit., hlm. 109
[4] Emawati, Pembudayaan Ritual Baayun Anak di Sampit, Kalimantan Tengah (Tangerang: Young Progressive Muslim, 2015), hlm. 101
[5] Syahminan Alfarisi, Baayun Maulid di Banua Halat, Rantau Tapin (rri.co.id, 24 Desember 2015)